Selama ini kita difahamkan bahwa shalat adalah tiang agama. Hal ini menimbulkan tanda tanya kepada kita, mengapa diantara ajaran Islam yang begitu luas yang meliputi berbagai aspek ibadah dan hukum hakam, maka Allah telah memilih shalat sebagai tiang agama Islam ?
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya :
"Shalat itu merupakan tiang agama maka barang siapa mendirikan shalat berarti mendirikan agama dan barang siapa meninggalkan shalat berarti dia sudah meruntuhkan agama"
Seterusnya yang menimbulkan persoalan kepada kita ialah mengapa bila mendirikan sholat itu berarti mendirikan agama ? Seseorang yang medirikan agama itu berarti mendirikan ajaran-ajaran yang melengkapi di dalam Islam serta melaksanakan seluruh tata cara yang berdasarkan wahyu Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Sebaliknya bagi orang yang meninggalkan shalat berarti telah meruntuhkan ajaran Islam.
Meskipun di dalam hidupnya mereka tidak putus-putus melakukan amalan-amalan kebajikan yang lain seperti berzakat, berpuasa atau menunaikan haji dan sebagainya.
Dalam satu hadits yang lain Rasulullah SAW pernah bersabda :
"Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka kafirlah ia dengan nyata"
Sekali lagi pikiran kita berhadapan dengan satu persoalan. Persoalan yang amat mengejutkan ialah mengapakah hukum meninggalkan shalat ini begitu berat sekali sehingga seseorang itu dianggap terkeluar dari agama Islam?
Kalau direnungkan berdasarkan akal pikiran manusia tugas mengerjakan shalat bukan terlalu berat sehingga memungkinkan seseorang yang meninggalkannya dengan sengaja dihukum sebagai kafir.
Ringkasnya akal kita merasakan bahwa shalat yang begitu mudah itu tidaklah patut dijadikan tiang agama. Mengapakah kita berpikir demikian ? Kalau ditinjau dari sudut gerak gerik seseorang yang melakukan shalat itu seperti berdiri, rukuk, sujud, tahiyat dan sebagainya bukanlah sesuatu yang sukar. Tidak pernah terdengar oleh kita bahwa disebabkan shalat pinggang seseorang menjadi sakit, tempurung lututnya pecah atau jari-jari kakinya patah dan sebagainya.
Jelasnya perbuatan shalat itu amat mudah malah lebih mudah dari melompat-lompat di padang rumput. Bacaan-bacaan yang terkandung di dalamnya juga adalah mudah. Bukan saja kita yang dewasa ini mudah menghafal malah kanak-kanak senang menghafalnya. Sekurang-kurangnya bacaan yang wajib dihafal dalam tempo seminggu saja.
Dari sudut masa pula, waktu yang dikorbankan adalah amat pendek dibandingkan dengan jumlah masa sehari semalam. Katakan shalat yang dilakukan secara main-main / asal jadi yang berawal dari mengambil wudhuk sehingga mengambil salam hanya memakan masa selama dua puluh menit. Apakah dua puluh menit ini merupakan sesuatu yang berat ?
Kalau hendak memperoleh pendapatan 4 hingga 5 ringgit, kita terpaksa mengorbankan waktu dari jam 7 hingga 8 jam, maka shalat tidak memerlukan waktu yang sepanjang itu dan tidak pula memerlukan belanja atau modal yang banyak. Pakaian ini mungkin dapat digunakan setahun dua tahun seandainya kita cermat menjaganya. Oleh karena itu dari sudut material, uang tidak banyak digunakan menunaikan fardhu shalat.
Memandang faktor-faktor yang mudah seperti biaya kecil, waktu yang sebentar, tenaga yang sedikit, serta bacaan yang mudah maka logikanya kita tidak dapat menerima bahwa shalat itu sebagai tiang agama.
Kalau diukur dari sudut lahiriah maka menurut pikiran kita ibadah haji dan puasa itu rasanya lebih berat dan karena itu kalau ibadah haji dijadikan tiang agama, tentu lebih mudah akal kita menerima.
Dari segi biaya seseorang terpaksa mengeluarkan $ 5000 untuk menunaikan sekali fardhu haji. Biaya itu tentu lebih besar daripada biaya untuk menunaikan shalat bertahun-tahun. Dari segi waktu juga seseorang terpaksa menghabiskan dua bulan atau lebih semata-mata untuk menyempurnakan rukun hajinya, malah seorang pegawai negeri terpaksa mengambil cuti resmi dan cuti tanpa gaji kalau perkhidmatannya belum mencapai 15 tahun.
Selain itu sebelum calon jemaah haji berangkat ke tanah suci, banyak sekali waktu dan tenaga terpaksa digunakan untuk mengurusi beberapa hal seperti soal visa, suntikan kolera dan sebagainya yang berkaitan dengan kelengkapan ibadah haji, keluar masuk kantor untuk menemui pegawai yang masing-masing mengurusi persyaratan, kendaraan dan kesehatan yang harus dipikirkan.
Demikian beratnya tugas menyempurnakan urusan haji, bahkan bila diukur dari berat ringannya tugas ibadah haji dibandingkan dengan shalat maka rasa-rasanya haji lebih patut untuk dijadikan sebagai tiang agama dan menurut akal maka lebih layak seseorang itu dikatakan menjadi kafir jika ia tidak menunaikan ibadah haji. Dari penilaian lahir kiranya haji tidak dijadikan tiang agama maka sekurang-kurangnya puasalah yang sepatutnya dijadikan tiang agama. Sebab kalau seseorang diberi peluang untuk memilih antara amalan puasa dan shalat maka sudah tentu orang lebih cenderunng untuk memilih shalat daripada puasa, walaupun puasa yang kita amalkan itu hanya dapat dikatakan puasa awam karena paling tidak seseorang yang berpuasa itu terpaksa menahan diri dari lapar dan dahaga sekurang-kurangnya selama 12 jam di negara khatulistiwa ini.
Dipandang dari ukuran lahiriah maka puasa yang begitu berat sepatutnya layak dijadikan tiang agama. Tetapi Allah tetap mengajar kita bahwa shalat itulah tiang agama. Sebenarnya kalau dikaji dan diperhalusi hal ini maka ternyata benar bahwa shalat memanglah suatu suruhan yang terpenting dibandingkan dengan ajaran-ajaran Islam yang lain yang beribu-ribu laksana bintang di langit.
Kalau dianalisa terus maka shalat bukan saja terpenting malah sangat indah, penuh hikmah dan dalam shalat itulah terletak satu kebahagiaan, satu kekuatan yang abadi yang tidak pernah pudar oleh zaman yang senantiasa berubah ini. Keindahan shalat ini hanya dapat dirasa ketika shalat itu amat berpengaruh pada jiwa seseorang kalau shalat itu benar-benar dapat merasakan suatu kebahagiaan dan ketenangan hati yang abadi, suatu keindahan hidup yang amat murni serta benar-benar terhibur ketika melakukan shalat itu.
Inilah garis yang diletakkan para Nabi terutama Rasulullah SAW. Junjungan besar ini pernah bersabda mengenai tiga perkara yang menjadi kebahagiaan hidupnya :
Bau-bauan yang harum
Isteri yang shalihah
Cahaya mataku dalam shalat
Oleh karena Rasulullah SAW dapat melakukan shalat dengan penuh kelezatan maka segala cobaan hidup yang dialaminya dapat dihadapi dengan tenang, dengan jiwa yang terbuka dan lapang. Hanya kita yang merasa sedih dan pilu bila mendengar ujian-ujian yang dialami Rasulullah SAW. Justru itu ujian lahiriah tidak mampu menembus dan mengoyak jiwa Rasulullah yang sudah tenang itu. Suasana dan keadaan demikian bisa dirasakan dan dicapai apabila kita sudah dapat memiliki kekuatan dan sudah dapat merasakan kelezatan dalam shalat. Malangnya orang seperti kita ini jangankan dikatakan lezat, tenangpun sangat sulit.
Macam-macam perkara yang berlomba-lomba menyerang kepada kita seperti teringat akan mobil mewah, rumah besar, pangkat yang tinggi, bioskop semua terus berputar dalam kepala kita. Terjadilah kekacauan dan ketidaktenangan demikian bukanlah disebabkan oleh serangan syaitan dan iblis semata-mata tetapi memang dalam realitas kehidupan kita yang kita hayati, yang kita cintai, yang kita buru adalah benda-benda yang bersifat pembangunan dan kemewahan dunia semata-mata.
Sebab itulah tidak mustahil kalau dunia tumpuan di hati dalam shalat kita. Inilah sebab-sebab besar yang menjadikan kita begitu sukar merasakan kelezatan dan kekhusyukan dalam shalat untuk menikmati seperti yang dinikmati oleh para Rasul di dalam shalatnya. Paling kurang kita harus cenderung bukan saja mengerjakan perkara yang fardhu atau wajib malah perkara yang sunat-sunat juga perlu dilaksanakan, manakala dalam waktu yang sama bukan saja soal-soal yang haram dijauhkan tetapi perkara-perkara yang makruhpun sangat perlu untuk dihindari, karena walaupun makruh tidak mendatangkan dosa, tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT.
Segala hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya hendaklah diamalkan pada kedua-dua peringkat yaitu lahiriah dan batiniah. Proses melalui jalan atau garis pertama tidak dapat kita pelajari, tidak ada guru-guru yang mampu mengajarnya dan tidak ada ustaz atau mualim yang bisa menjelaskan, malah tidak ada kuliah atau ceramah yang mampu menerangkat apa lagi untuk mengupas secara terperinci satu persatu.
Oleh karena itu terserahlah kepada nasib dan bagian diri masing-masing, sekiranya kita dapat merasakan keindahan dalam shalat sebagaimana hendak dijelaskan tadi bersyukurlah kepada Allah. Akan tetapi jika tidak, maka hendaklah berusaha shalat dengan sungguh-sungguh lahiriah dan batiniah sehingga Insya Allah, Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang akan mencampakkan buah hakikat shalat ke dalam lubuk kita maka akan terasalah akan keindahan, hikmah, lapang dan tenang bukan saja dalam shalat bahkan dalam kehidupan harian.
Untuk orang-orang yang seperti kita ini yang cenderung melakukan shalat secara serpihan, maka garis kedua yang harus kita lakukan ialah dengan melalui gerbang ilmu pengetahuan atau dalam istilah modernnya "ilmiah". Mudah-mudahan dengan teropong ilmu secara ilmiah kita bisa meninjau sejauh mana kebesaran atau kehebatan shalat itu, baik itu layak dijadikan tiang agama atau tidak.
Salah satu diantara kebesaran shalat ialah melalui garis ilmiah ini ialah berhubungan dengan maksud ijmali dari shalat itu sendiri. Kalau ditinjau "substance" atau inti dari bacaan-bacaan dalam shalat itu maka jelaslah kepada kita bahwa shalat itu bukan saja merupakan "form substance" atau inti hikmah yang teramat tinggi yang boleh menjadi benih, teras atau dasar kepada pembentukan pribadi seorang insan yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah SWT.
Dilihat dari kandungan bacaan dalam shalat ini maka dia sangat tepat kalau disimpulkan bahwa shalat itu merupakan suatu pembaharuan ikrar atau janji yang dilakukan pada dua tahap atau peringkat. Para peringkat pertama merupakan suatu pembaruan ikrar yang telah kita lakukan dari sejak alam arwah dahulu yang telah kita lupakan, di waktu Allah SWT telah menawarkan suatu jabatan penting kepada makhluk-Nya yakni untuk mengatur atau menjadi wakil-Nya, menyusun dan mengatur makhluk yang telah diciptakan di alam dunia ini berdasarkan kepada aturan-aturan dan perundang-undangan yang telah direkamkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Jabatan ini dikenal sebagai jabatan khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Jabatan itu ditawarkan oleh Allah kepada makhluk-makhluk yang sesuai menurut kehendak Allah.
Pada mulanya jabatan ini ditawarkan kepada makhluk-Nya yang bernama langit dan bumi tetapi langit dan bumi yang begitu gagah dan besar tidak sanggup memikul beban tugas yang amat besar dan mulia ini. Ini tidak berarti bumi dan langit tidak berkeinginan, tetapi mereka benar-benar merasa takut, takut kalau-kalau mendurhakai Allah SWT, apabila keduanya tidak dapat melaksanakan tugas suci yang diamanahkan oleh Allah SWT ini.
Oleh karena itu langit dan bumi mengaku kalah, namun begitu Allah yang Maha Penyayang tidak murkan kepada mereka sebab tugas itu merupakan suatu penawaran saja dan bukan paksaan. Begitu juga ketika tugas ini ditawarkan kepada bumi dan gunung mereka juga mengaku kalah, akhirnya Allah SWT menawarkannya kepada manusia yang kerdil lagi lemah. Dan manusia yang kerdil lagi lemah ini telah memberi kesanggupan untuk menerima tugas besar dan mulia ini, yang berarti manusia telah bersedia untuk menderma dan sanggup melaksanakan peraturan-peraturan dan tata hidup yang telah diatur oleh Allah melalui Al Qur'an dan Sunnah.
Kesungguhan manusia untuk memikul tugas dan tanggung jawab ini bukan semata-mata karena tinggi atau beratnya tugas tersebut tetapi karena tertarik dengan janji Allah bahwa barang siapa yang memikul jabatan khalifah Allah maka mereka akan diberi kebenaran atau tauliah untuk menggunakan, mengatur dan mengawal bumi dan lautan dengan segala khazanah yang terkandung di dalamnya.
Atas kesediaan atau janji setia inilah Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah telah melahirkan kita ke dunia ini melalui rahim ibu kita. Malang sekali insan yang telah berjanji tidak dapat mempertahankan janjinya. Hal ini jelas dalam firman Allah SWT :
"Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur" [Saba 13]
Dengan lain perkataan insan-insan yang sudah melahirkan ketaatan dan janjinya di alam ruh sangat sedikit sekali. Oleh karena itulah shalat mengandung hikmah yang sangat besar yang merupakan pembaharuan kembali sumpah setia yang telah kita ikrarkan di alam ruh.
Dari cerita sejarah kita telah dapat memahami kenapa para sahabat yang hendak shalat sangat merasa ketakutan dan gemetar ketika melaksanakan shalat karena mereka sadar bahwa mereka akan berhadapan dengan Allah tidak sesuai dengan kebesaran Allah, di samping itu rasa cemas yang dirasakan karena shalat merupakan pembaharuan sumpah setianya Allah dan mereka menyadari entah berapa ratus kali mereka telah bersumpah padahal sumpah-sumpah yang lalu entah sudah ditunaikan atau belum, begitu halusnya perasaan para sahabat di zaman Rasulullah dulu.
Kalau kita teliti satu saja dari ayat-ayat yang termaktub dalam shalat sudah mencukupi bagi kita menentukan apakah yang kita ulang-ulang dalam shalat. Ayat ini terkandung dalam doa iftitah yang artinya :
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah seru sekalian alam" [ Q.S. Al An'am : 162 ]
Ayat di atas sarat dengan makna yang begitu tinggi, seandainya sadar maka sudah tentu timbul rasa takut pada hati kita, tetapi yang terjadi di kalangan umat Islam sekarang adalah suatu yang amat dahsyat dan mengerikan. Bukanlah suatu perkara yang aneh ketika kita menemukan manusia-manusia yang selesai saja mereka melakukan shalat maka mereka akan segera menuju tempat-tempat yang gemerlap yang dipenuhi dengan segala kemaksiatan dan dosa. Mereka lupa bahkan mereka menjadi raja kepada syaitan dan menjadi hamba kepada nafsu mereka. Dalam shalat mereka mencari jalan yang lurus, tetapi selesai shalat mereka menyahut seruan Neraka jahanam, adapula yang tergesa-gesa menamatkan shalatnya karena takut kehabisan tiket bioskop atau pertunjukan musik. Adapun yang sudah terbayang dalam benaknya wajah-wajah 'hero' yang menjadi idola mereka di televisi.
Kalau demikian sifat shalat kita maka tidak heran kalau shalat tidak mempengaruhi jiwa kita bahkan sangat jauh dari menjadikan shalat kita sebagai latihan membentuk pribadi kita sebagaimana yang dikehendaki dalam Islam. Justru itu tidak mustahil masyarakat kita tidak dapat disatukan bahwa bercerai berai dan tidak dapat membentuk masyarakat yang mulia, baik dan tinggi dalam segala aspek seperti yang dicontohkan oleh masyarakat binaan Rasulullah satu masa dulu. Jika sembahyang yang begini besar hikmahnya masih tidak dapat kita selesaikan dan dibereskan maka jangan harap perkara-perkara yang lain akan selesai.
Dilihat dari sudut kedua pula disamping doa-doa dan bacaan-bacaan yang merupakan janji dan ikrar setia kepada Allah dalam shalat juga terdapat cantuman antara rukun Islam yang lima dengan rukun Iman yang enam. Rukun Islam yang pertama ialah kalimah syahadat ini sudah merupakan satu syarat rukun dalam shalat, dan ini tidak asing lagi kepada semua orang Islam dimana saja mereka berada. Sedangkan rukun Islam yang kedua adalah shalat itu sendiri yaitu shalat wajib lima kali sehari semalam. Rukun berpuasa terdapat dalam shalat. Hal ini adalah nyata sekali dan tidak sukar difahami karena siapa saja yang melakukan makan dan minum dalam shalat maka hukumnya batal.
Oleh karena itu sangat pantas umat Islam disunatkan bersuci sebelum shalat dan membersihkan mulut dari sisa-sisa makanan yang ditakutkan ketika shalat akan tercampak ke dalm mulut. Rukun Islam yang keempat adalah membayar zakat, zakat dalam bahasa Arab berarti 'pembersihan' harta yang dikeluarkan untuk zakat inilah yang sudah bersih, maka tindakan pembersihan telah dilakukan atas harta, unsur bersih inilah yang harus menjadi syarat kepada shalat. Bukan saja bersih dari hadats yang besar dan kecil malah pakaian, badan dan tempat juga harus bersih dari najis.
Rukun Islam yang terakhir ialah menunaikan fardhu haji, persoalan ibadah haji memang jelas terkandung dalam shalat. Setiap orang melakukan shalat dimana juga berada mereka diwajibkan untuk mengarah ke kiblat. Bertawaf sekeliling Ka'bah merupakan sebagian daripada persoalan fardhu haji, mengarahkan wajah ke kiblat adalah melambangkan setiap orang Islam mempunyai satu tujuan, satu pendirian dan satu kesatuan.
Dalam shalat juga terkandung rukun Iman yang enam, rukun Iman yang pertama menuntut kita supaya beriman kepada Allah, diawali pembukaan shalat kita sudah meletakkan kepercayaan kita kepada keagungan dan kebesaran Allah SWT. Takbiratul ihram merupakan rukun awal di dalam shalat, perbuatan melafazkan Allahu Akbar adalah merupakan satu pengakuan akan perwujudan Allah serta keagungan dan kebesaran sifat-Nya. Rukun Iman yang kedua ialah meyakinkan adanya malaikat, untuk pengetahuan rukun Iman itu terbagi ke dalam dua kategori :
Iman Mufasal yaitu rukun Iman yang perlu dipelajari secara terperinci uraiannya
Iman Ajmal yaitu rukun Iman yang dipelajari secara ringkas sebagaimana yang telah kita pelajari.
Ringkasnya Iman ajmal seolah-olah kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Allah dan apa-apa yang difirmankan-Nya dan kita percaya kepada Rasul dan apa-apa yang disabdakannya. Jikalau di ambang pintu shalat yaitu ketika takbir kita sudah melafazkan kepercayaan kepada Allah maka otomatis wajib pula kita yakini Firman-Nya bahwa akan adanya malaikat sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Qur'an.
Allah SWT jadikan malaikat-malaikat untuk menjalankan pentadbiran-Nya dan diantara para malaikat itu terdapat juru catat yang menghakimkan segala perbuatan kita yaitu Raqib dan Atid. Dan ini tentulah akan menginsyafkan kita bahwa kita senantiasa diawasi oleh kaki tangan pengaturan Allah yang tidak pernah mengenal istirahat dan cuti. Rukun Iman yang seterusnya adalah percaya kepada Rasul-Rasul dan berhubung dengan hal ini secara terang menyatakan dalam shalat mengaku kerasulan Rasulullah SAW yang sekaligus kita meyakini semua yang disabdakannya, yang antara lain baginda pernah bersabda :"Selain daripadaku terdapat banyak lagi Rasul yang diturunkan oleh Allah SWT"
Rukun Iman yang keempat adalah percaya kepada kita Allah. Dalam shalat Allah mewajibkan untuk membaca surat Al Fatihah yang dikenal dengan nama "Ummul Kitab" yang isinya supaya umat muslimin percaya dengan hari kiamat dan kedahsyatannya.
Kepercayaan terhadap untung baik dan buruk itu datang dari Allah SWT merupakan rukun Iman yang terakhir. Ringkasnya kita yakin dan percaya bahwa yang menghitam putihkan nasib kita ialah Allah bukan syaitan, jin, tunggul, gunung atau kubur, sebab itu Allah mengajar manusia baik di waktu luar ataupun waktu dalam shalat yang artinya :
"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" [Al Fatihah 5]
Firman Allah yang artinya :
"Dan tunjukanlah kami jalan yang lurus" [Al Fatihah 6]
Kesimpulannya jelaslah bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam itu terhimpun dalam shalat yang kita bangun itu. Selain daripada itu kebesaran shalat itu dapat dilihat lagi dalam bacaannya. Di dalam shalat itu terkandung macam-macam bentuk do'a. Ada do'a minta petunjuk dan taufiq, do'a minta ampun, do'a minta ditinggikan derajat dan lain-lain.
Oleh karena itu ketika kita berdoa dalam shalat, waktu itu cukup nyata permohonan kita seperti kita mempunyai sifat taqwa, maka kita akan dapat kekuatan di dalam hidup kita lantaran do'a ini, karena Rasulullah SAW pernah bersabda :
"Do'a adalah senjata orang mukmin"
Ada satu kebesaran lagi yang dapat kita pastikan yaitu dalam bacaan-bacaan pada saat kita rukuk dan sujud. Sedangkan kedudukan zikir dalam Islam adalah amat penting, ia bisa menjadikan hati seseorang itu mendapat ketenangan seperti mana Allah SWT berfirman yang artinya :
"Ketahuilah olehmu bahwasanya dengan mengingati Allah itu akan memberi ketenangan kepada hati" [ Q.S. Ar-Raad : 28 ]
Janganlah kita memandang bahwa perbuatan shalat seperti berdiri, rukuk, sujud dan lain-lain tidak mempunyai apa-apa hikmah, apa pun bentuk dan struktur kejadian makhluk di muka bumi ini tidak boleh dipandang ringan dan remeh, sebenarnya perlakuan dalam shalat itu merupakan sindiran-sindiran besar Allah SWT terhadap makhluk-Nya. Ia mengandung gambaran-gambaran yang simbolik. Untuk mengingatkan tanggung jawab kita kita Allah telah menentukan perbuatan shalat itu sedemikian rupa untuk melambangkan seluruh kejadian alam yang kita sebagai khalifah Allah mengaturnya.
Sebagai bahan analisa, coba kita teliti kejadian alam sekitar kita terdapat kejadian yang tegak lurus seperti kayu, ada juga binatang yang berkaki empat yang duduknya seolah-olah dalam keadaan rukuk seperti kangguru, dan ada juga yang berbentuk seolah-olah dalam keadaan sujud, ikdital, dan sebagainya. Seseorang yang jiwanya kuat, pengertian shalat itu akan datang menusuk ke jiwanya. Allah SWT berfirman kepadanya :
"Hai kamu yang melakukan shalat, ingatlah bahwa engkau pengatur alam ini, engkau lebih mulia daripada alam ini, maka janganlah perangaimu sama dengan alam yang engkau tadbir ini"
Bagi mereka yang berjiwa halus perbuatan shalat ini dapat dipahami seolah-olah :"Hai kamu yang shalat ingatlah bahwa kamu pengatur alam, kamu adalah lebih mulia daripada kambing dan ayam, oleh karena itu janganlah kamu berperangai seperti kambing dan ayam dan janganlah kamu hendak berperangai seperti kuda yang telanjang, kamu pun bertelanjang juga. Kuda mempunyai nafsu yang besar maka kamupun mempunyai nafsu besar juga maka janganlah kamu seperti itu."
Hikmah shalat yang terakhir, shalat juga adalah hubungan diplomatik kita dengan Allah SWT yaitu suatu cara untuk melahirkan rasa syukur kita kepada-Nya karena nikmat penganugerahan akal pikiran yang ada pada kita. Sebab itulah pada waktu shalat kita meletakkan dahi dan kepada kita ke muka bumi ini yang berarti kita bersedia untuk menghinakan diri serta menghambakan diri kepada Allah.
Hanya dengan cara inilah kita boleh melahirkan rasa syukur dengan arti yang sebenar-benarnya seolah kita lafazkan :
"Ya Allah aku bersyukur kepada-Mu atas penganugerahan akal pikiran padaku yang dengannya aku dapat berpikir"
Mudah-mudahan dengan menyadari bahwa shalat menghimpun segala persoalan Rukun Iman dan Rukun Islam dan berbagai hikmah yang lain maka akan menimbulkan keinsyafan dan pengakuan bahwa layak sekali kalau shalat itu dijadikan tiang agama. Tidak hanya pengakuan saja malah mudah-mudahan dengannya akan membantu kita supaya cinta kepada shalat dan supaya kita mengerjakan shalat itu penuh dengan rasa khusyuk, redha dan tawaduk.
Dan di sinilah juga logiknya orang yang meninggalkan shalat itu dihukum kagir, menurut yang disabdakan oleh Rasulullah SAW karena orang yang meninggalkan shalat itu berarti dia telah menolak rukun Iman dan rukun Islam serta telah mengumumkan 'perang' dengan Allah Taala.
Wednesday, November 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment